Flash Fiction #2 : gerimis yang indah

Langit memang sedang menangis. Ia menumpahkan seluruh air matanya. Tapi, aku bahagia. Bahagia bersama tiap tetes yang jatuh dengan anggun ke bumi.

Bahagiaku berawal ketika bel pulang sekolah berbunyi. Aku bergegas berkemas dengan sudut bibir yang senantiasa terangkat. Aku rapikan kerudung yang menutup auratku dengan sudut bibir yang masih terangkat di depan kaca kelas.

Aku menarik nafas panjang, tersenyum lebih lebar di depan kaca. Aku bergegas menggendong tasku dan melangkah keluar dengan hati berbunga-bunga. Aku bergegas memakai sepatu.

"Aku mau ke kelas VIII D dulu. Tunggu aku." Pesanku pada salah satu teman sekelasku. Aku tak mendengar apakah ia bersedia atau tidak, aku sudah terlanjur melangkah ke kelas yang ada di seberang.

Aku berlarian kecil, menghindari tetesan air hujan semakin banyak mendarat di baju seragamku.

Aku tiba di depan kelasnya. Seketika, gugupku muncul lagi. Aku tidak berani untuk lancang masuk ke kelasnya. Ah... hanya dia yang bisa membuatku jadi selalu salah tingkah. Syukurlah, ada temannya yang keluar kelas. Tanpa perlu kuminta bantuan. Dia sudah berteriak dengan lancang "Fahmi, dicari Syasya."

'apakah tidak bisa pelan sedikit? Aku kan malu.' Kataku dalam hati. Rona merah hinggap di kedua pipiku.

Tidak perlu menunggu Fahmi terlalu lama setelah temannya Fahmi memanggilnya. Ia sudah berdiri di depan pintu dengan senyum mengembang yang lagi-lagi membuat rona merah di pipiku semakin bertambah merah.

Aku segera mengambil flashdisk dari sakuku. Aku memang hanya bermaksud ingin menyerahkan flashdiskku untuk minta software macromedia. Sesudah aku bilang mau minta, satu hari kemudian waktu aku tanya dia lagi apa dia jawab kalau lagi download sofware itu. Aku merasa tersanjung :)

"Makasih ya." Kedua sudut bibirku terangkat sedikit. Perasaan gugup ini membuat kedua sudut bibirku tidak bisa terangkat lebih dari ini.

Fahmi hanya menggangguk sambil tetap tersenyum.

"kamu bawa jas hujan nggak?" tanyaku yang khawatir hujan akan tambah deras. Fahmi bisanya naik sepeda. Jarang sekali ia diantar-jemput, bertolak belakang denganku yang selalu diantar-jemput.

"nggak." jawabnya. Sejujurnya, aku tidak suka jawaban singkat, tapi kenapa kalau itu Fahmi semuanya runtuh, seolah aku tidak pernah tidak menyukai jawaban singkat.

"lha nanti kamu pulangnya gimana?" tanyaku cemas.

"yadooo... yadoooo.... cuittt... cuiiittt..." teman-temanku yang usil berteriak lancang sambil terkikik pelan.

Aku sudah semakin malu. Rona merah di pipiku tadi belum juga samar, sekarang kian bertambah.

"aku pamit dulu ya." aku segera membalikkan badanku, takut kalau Fahmi sampai tahu pipiku semerah kepiting rebus.

Obrolan singkat itu bagiku adalah hal yang terindah dalam obrolanku bersama siapapun. Aku masih ingat benar mimik wajahnya, ulasan senyumnya, sinar matanya saat itu. Kejadian itu terekam dengan baik dalam memoriku dan akan aku simpan dalam peti dengan seratus tujuh belas kunci agar tak ada yang bisa merusaknya.

Mungkin memang aneh jika itu adalah obrolan terindah. Hanya singkat dan padat. Tapi itu adalah obrolan paling panjang antara aku dan Fahmi.

Setiap gerimis datang membuat memori itu terputar lagi. Membuat aku tersenyum bahagia juga bersedih hati 'kapankah akan terulang kembali?'

0 komentar

Posting Komentar