“aku mau kita putus!” seru Wiera. Dadanya sesak. Ini adalah keputusan terberat yang pernah ia lakukan. Rasa sayangnya pada Varen belum berkurang sedikitpun tapi ia cukup tahu diri untuk tidak melanjutkan hubungan yang selalu dimimpi-mimpikan Wiera.
Varen—pemuda yang membuatnya menjadi tak karuan. Varen—pemuda yang membuatnya dia dimabuk cinta. Varen—pemuda yang Wiera anggap sangat cuek bahkan lebih ketidakpeduli. Itulah alasan kuat Wiera memilih pilihan terberat itu.
“sudahlah, jangan memaksakan sebuah hubungan. Pacaran itu terjadi apabila ada dua orang bukan hanya seorang.” Kata-kata itu membuat keberanian Wiera mengatakan satu kalimat penuh sesak itu. Selama ini, ia juga teman-temannya menganggap Wiera tidak dalam status berpacaran. Bagaimanalah bisa disebut pacaran jika komonikasi terputus? Bukan LDR, kelas Varen hanya berseberangan dengan kelas Wiera. Apakah susah mengajak bicara?
Wajah Varen berubah. Matanya memperlihatkan kekejutannya. Tapi, mulutnya terkunci. Padahal Wiera ingin tahu apa yang ingin diucapkan Varen sebagai ‘pesan terakhir’ mungkin. Ia ingin tahu apakah Varen masih peduli untuk mempertahankan hubungannya dengan adanya perubahan atau malah senang karena terputus dari ikatan yang memang tak penting bagi Varen.
“aku minta maaf kalau selama ini aku punya salah sama kamu.” Kata Wiera—yang akhirnya menyerah menunggu Varen membuka mulutnya hanya untuk mengatakan ‘kenapa’. Dan ia menyerah berharap Varen mencoba agar Wiera menarik kata-katanya yang telah terbang tinggi.
“aku juga minta maaf—“ jawab Varen pelan—mungkin masih shock dengan perkataan Wiera atau entah oleh apa.
Weira membuang muka. Sesak di dada Weira semakin menjadi-jadi. Sekarang, ia malah dalam keraguan yang besar. Bisakah ia bisa terbiasa dengan cepat tanpa Varen. Padahal sebelum ini Varen selalu muncul dalam benaknya, pikirannya, dan tentu hatinya.
“aku pulang duluan ya.” Kata Varen.
Weira menatapnya sejenak. Menangguk pelan. “ya.” Samar-samar kukatakan kata terakhir untuknya.
Varen membalik. Weira dapat melihat dengan jelas punggung Varen. Weira cepat-cepat menuju balkon lantai dua sekolahnya. Ia melihat Varen yang mengambil sepedanya. Weira berharap Varen menoleh ke atas. Entah kenapa, Weira ingin sekali Varen menoleh ke arahnya dan mengembangkan senyum atau melambaikan tangan padanya.
***
“We. Kamu putus sama Varen? Kenapa?” Tanya Hirai.
“kamu tahu sendiri kan?” Weira menjawab dengan malas. Ia sudah menjawab
pertanyaan itu berkali-kali.
“We. Aku mau kasih tahu satu hal sama kamu. Menurutku, Varen itu bukannya
nggak peduli sama kamu.” Hirai menunduk—merasa bersalah terlambat mengatakan hipotesisnya.
Weira menoleh—menatap tajam Hirai.
“apa pernah Varen marah sama kamu? Apa pernah Varen nunjukkin kalau dia cemburu?”
“enggak. Apa dia peduli? Bukannya itu tandanya kalau dia malah nggak peduli sama sekali. Mau aku sama siapa bagi dia nggak masalah. Bukannya itu enggak peduli namanya?” sangkalku pada Hirai.
“kamu hobi banget deh mikir jangka pendek. Kalau dilihat dari sisi lain, dia lebih sabar daripada kamu lho. Emang kamu enggak deket sama mantan kamu di twitter? Bukannya kamu malah sering mention dia daripada Varen? Kalau Varen cowok normal, pastilah dia cemburu. Tapi dia nggak pernah ngomong kan? Nggak pernah ngambek? aku kadang memperhatikan Varen. Kadang-kadang dia ngalamun juga hadap kelas kamu sekilas sih—“
Weira mencerna kata-kata Hiari. ‘Varen lebih sabar daripada aku. Berarti dia malah jauh terluka daripada dia’. Tapi… “aku enggak pernah lihat dia gitu. Yang sering aku lihat dia terlihat sangaaaattt baik-baik saja.”
“yang tak nampak bukan berarti tidak ada bukan?”
“kesimpulannya Varen itu sabar banget sama kamu. Sabar itu tanda perhatian bukan?”
***
Dear dairy,
Sekarang sudah tepat setengah tahun aku putus sama Varen. Tapi, aku masih sering memikirkanmu Ren. Sampai sekarang aku belum tahu hipotesis Hiari itu benar atau enggak. tapi, aku percaya. Dan aku minta maaf sebesar-besarnya kalau memang begitu keadaannya. Sungguh, aku nggak pernah tahu. Varen, maaf ya kalau selama ini aku enggak peka. Varen maaf—aku masih sayang kamu. Tapi aku tahu diri kok. Kenangan indah itu memang lebih pantas menjadi kenangan bukan untuk dikenang. Jika itu harapmu, aku juga akan berusaha mewujudkan harapanmu terwujud.
Aku sayang kamu, tapi maaf Ren. Aku ingin nggak ketemu kamu. Kenangan indah memang untuk dikenang tapi kesedihan untuk dilupakan bukan?
25-02-2012
0 komentar
Posting Komentar