dulu, sering kali aku merindukanmu, merindukan senyummu, merindukan tawamu, merindukan candamu, merindukan suaramu, merindukan wajahmu, merindukan kata-katamu, merindukan perhatianmu dan semua yang kau bawa.
Dulu, sering kali aku berpikir, ‘kapankah kau akan kembali? Masih bisakah aku mendapatkan perhatianmu lagi?’. Tapi, aku hanya sekedar bertanya-bertanya pada diri sendiri.
Dulu, aku sering sekali menatap timelineku yang penuh dengan kata-kata norak. Seperti there’s no day without missing you, kamu perginya lama ya? Haruskah aku mencari yang lain? Kamu sudah lupa sama aku ya? When you’re gone, it always hurts me. Don’t go away from me.
Aku sadar, semua ini menyakitkan. Semua ini hampir membuatku menjadi orang gila. Orang gila yang bukan hanya kehilangan jiwa tapi juga kehilangan hati—hati yang selalu kamu bawa pergi, tapi aku tak tahu hatiku masih kamu simpan atau sudah terbuang.
Seandainya saja dahulu aku tidak egois. Seandainya saja, dulu aku lebih bisa sedikit mengertimu. Mungkin kamu tidak akan pergi secepat itu. Sekalipun kamu akan pergi, aku selalu berharap saat itu hatiku telah ada padaku dan aku akan segera memberikan hatiku untuk oranglain. Tapi, sayang tidak semudah itu prosesnya.
Perjalanan yang hanya empat jam ini sungguh sangat menguras pikiran karena setiap detik aku selalu mengingatmu. Entah kenapa bayang-bayangmu tiba-tiba mengahantuiku, dengan terpaksa film-film pendek lima tahun yang lalu itu terputar kembali tanpa bisa dihentikan di tengah cerita.
Lima tahun yang lalu. Aku masih mengenakan seragam putih abu-abu kebanggaanku, bukan blus kerja seperti yang aku pakai saat ini. Saat itu aku sedang di duduk di taman sekolah, seperti yang selalu aku lakukan—menyendiri. Sering kali aku merilik jendela di depanku. Lewat jendela itu aku selalu melihatnya latihan. Awalnya aku hanya memperhatikan, mengagumi permainan gitarnya dan entah oleh apa aku mulai tidak bisa dipisahkan oleh kebiasaan kecil itu—melirik jendela. Tapi, aku belum cukup menyadarinya saat itu.
Beberapa hari berlalu, aku tetap melakukan kebiasaan itu. Tapi tentu saja hanya sekedar melirik ke jendela sesaat kemudian tenggelam lagi ke novel yang aku bawa. Tanpa aku sadari ternyata selama ini seseorang yang aku perhatikan lewat jendela itu juga sesekali memperhatikan aku. Aku baru menyadarinya setelah tujuh belas hari kebiasaan itu melekat dalam diriku.
Pada hari ke tujuh belas itu, aku masih duduk di bangku taman. Mataku masih asyik dengan kata-kata yang berputar-putar di otakku tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sampingku. Mau tak mau aku menoleh, kontan saja mulutku membentuk huruf o kecil dan mataku membulat. Tapi, seseorang yang duduk di sampingku itu membalas tatapanku—yang aku yakini sungguh aneh itu—dengan senyuman paling indah yang pernah diberikan padaku.
“hai.” Sapanya
“hai juga. Ada perlu apa?” tanyaku. aku gugup sekali saat itu dan jika dia tidak punya maksud apa-apa aku akan pergi dari bangku itu.
Dia menaikkan kedua alisnya. “nadamu terlihat tidak suka. Hmm… atau kamu gugup?” ada senyuman jahil yang menghias kedua pipinya.
“eh?” apa dia indigo? Bisa membaca pikiran orang lain? “aku tidak gugup, apa aku perlu gugup?” tanyaku.
Dia tertawa kecil mungkin menertawai aku yang sungguh tidak ada bakat membohongi orang lain. “kenapa sendirian?”
“memang kenapa? Ada masalah?” aku tidak tahu benar atau tidak, tapi yang aku rasa dia lebih cenderung bertanya ‘kenapa sendirian? TIDAK PUNYA TEMAN?’
Wajahnya terlihat bersalah. “sorry, aku tidak bermaksud begitu. Sorry ya Tan—“
Mataku membulat lagi. “kamu tahu namaku?” bagaimana pula dia tahu namaku, aku saja yang terus-terusan memperhatikannya tidak tahu namanya.
Dia tersenyum. “Tania bukan? Kurasa kamu tidak tahu namaku ya?”
Aku meringis. “tepat sekali.”
Dia mengulurkan tangan kanannya yang sedari tadi ia masukkan ke saku jaketnya. “namaku Yovan.”
Aku menatapnya sekilas, kemudian mengulurkan tangan kananku, menggenggam tangan seseorang yang sudah tujuh belas hari ini mengisi hatiku.
Semenjak perkenalan itu, sering kali setelah ia latihan dia selalu menemaniku di bangku taman. Aku bahkan sampai lupa kalau tadi aku sedang membaca novel dengan konflik yang indah. Dia seolah mengisi seluruh ruang di otakku.
Dan pada hari ke seratus tujuh puluh satu semenjak perkenalan itu. Dia mengeluarkan pertanyaan yang sungguh tak pernah aku duga. Kalimat tanya yang sering di putar di sinetron-sinetron yang selalu membuatku ingin muntah. Tapi, ketika aku mendengar kalimat itu ia ucapkan untukku, aku tidak muak mendengarnya malahan aku serasa dibawa terbang ke taman bunga angkasa dengan sayap superman.
“maukah kamu menjadi pacarku?” dia menyodorkan coklat—coklat paling manis yang pernah ada.
Aku tersenyum saat memoriku kembali hadir menyapaku. Itu adalah kenangan terindah. Kenangan terindah yang paling menyakitkan.
Empat jam sudah berlalu, aku akan segera kembali ke duniaku. Dunia yang penuh kesibukan sehingga tidak waktu untuk memikirkan Yovan—my first love. Dan dengan kesibukanku itu aku masih bertahan untuk tidak menjadi orang gila.
0 komentar
Posting Komentar